Tanaman Kakao yang mempunyai nama latin Theobroma cacao awalnya berasal dari Amerika Selatan. Pada pertengahan abad ke-15, Bangsa Spanyol mulai memperkenalkan jenis tanaman ini di Indonesia. Kakao sangat cocok ditanam di negara dengan iklim tropis seperti Indonesia. Hingga saat ini, kakao menjadi salah satu tanaman unggulan perkebunan di Indonesia.
Menurut data International Cocoa Organization (ICCO), tahun 2018 Indonesia menduduki peringkat ke-6 produsen biji kakao terbesar dunia pada dengan volume produksi mencapai 220.000 ton. Melihat sumber daya yang ada, tentunya potensi peningkatan produksi kakao di Indonesia masih terbuka luas, salah satunya melalui peningkatan produktivitas kakao. Salah satu daerah penghasil kakao di Indonesia adalah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pasca Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-39 yang digelar di Sultra pada bulan November 2019, Badan Litbang Pertanian sebagai penanggungjawab kegiatan kala itu, terus mengawal dan mendampingi petani kakao di Puudambu dan alhasil sekarang ini telah memberi dampak yang sangat besar pada produktivitasi kakao. Teknologi yang diadopsi petani kakao di Desa Puudambu Kecamatan Angata Kabupaten Konawe Selatan mulai menunjukan hasil dimana panen kakao petani kooperator meningkat dua kali lipat dari semula. Data rata-rata di Desa Pudambu, panen kakao menghasilkan 0,5 - 1,5 Ton/Ha. Setelah pendampimpingan intensif yang dilakukan tim dari Balitbangtan, peningkatan produksi mencapai 3 Ton/Ha.
Hal tersebut disampaikan salah satu petani kakao sekaligus ketua kelompok tani (poktan) di lokasi eks gelar teknologi, Haji Ambomasse. Haji Masse, begitu biasa disapa, mengungkapkan rasa senangnya karena musim ini hasil kakao meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Petani kakao yang mempunyai lahan seluas 4 hektar ini juga mengungkapkan bahwa tanaman kakao kini tumbuh subur dan berbuah lebat.
Menurut data International Cocoa Organization (ICCO), tahun 2018 Indonesia menduduki peringkat ke-6 produsen biji kakao terbesar dunia pada dengan volume produksi mencapai 220.000 ton. Melihat sumber daya yang ada, tentunya potensi peningkatan produksi kakao di Indonesia masih terbuka luas, salah satunya melalui peningkatan produktivitas kakao. Salah satu daerah penghasil kakao di Indonesia adalah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pasca Hari Pangan Sedunia (HPS) ke-39 yang digelar di Sultra pada bulan November 2019, Badan Litbang Pertanian sebagai penanggungjawab kegiatan kala itu, terus mengawal dan mendampingi petani kakao di Puudambu dan alhasil sekarang ini telah memberi dampak yang sangat besar pada produktivitasi kakao. Teknologi yang diadopsi petani kakao di Desa Puudambu Kecamatan Angata Kabupaten Konawe Selatan mulai menunjukan hasil dimana panen kakao petani kooperator meningkat dua kali lipat dari semula. Data rata-rata di Desa Pudambu, panen kakao menghasilkan 0,5 - 1,5 Ton/Ha. Setelah pendampimpingan intensif yang dilakukan tim dari Balitbangtan, peningkatan produksi mencapai 3 Ton/Ha.
Hal tersebut disampaikan salah satu petani kakao sekaligus ketua kelompok tani (poktan) di lokasi eks gelar teknologi, Haji Ambomasse. Haji Masse, begitu biasa disapa, mengungkapkan rasa senangnya karena musim ini hasil kakao meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Petani kakao yang mempunyai lahan seluas 4 hektar ini juga mengungkapkan bahwa tanaman kakao kini tumbuh subur dan berbuah lebat.
Pendampingan teknologi juga telah mengubah kebiasaan kami dalam bertani. Selama musim kemarau, petani disini umumnya membiarkan tanamannya karena tidak berbuah. Dengan pendampingan budidaya tanaman kakao, terbukti tanaman kakao bisa berbuah di luar musim atau saat musim kemarau.
“Saat ini kami bisa memanen kakao sepanjang tahun. Bahkan sekarang kami dapat panen setiap minggu. Ini berdampak pada pendapatan yang kami peroleh,” ungkap Masse.
Atas keberhasilan pendampingan teknologi, HPS menyisakan inovasi teknologi kakao yang masih diadopsi oleh petani hingga hari ini.
“Kami terus mengadopsi inovasi teknologi yang telah diterapkan pada tanaman kakao, sehingga para petani dapat menikmati hasil panen yang meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya dan hal ini berdampak pada pendapatan yang kami peroleh,” aku Haji Masse penuh bangga.
Balitbangtan melakukan pendampingan inovasi teknologi pada saat pelaksanaan HPS bahkan pasca HPS. Pendampingan intensif dilakukan dilahan seluas 15 hektar selama kurang lebih 5 bulan. Balai Penelitian dan Pengkajian (BPTP) Sultra selama beberapa bulan terakhir telah memberikan bimbingan teknik budidaya yang tepat agar tanaman kakao bisa berbuah sepanjang tahun.
Ditempat terpisah, Kepala BPTP Sultra Muhammad Sidiq membenarkan perkembangan Kakao eks lokasi Gelar Teknologi Kakao HPS 39 sangat menggembirakan. Pasca pelaksanaan HPS ke-39 Balitbangtan melalui BPTP Sultra intens mengamati perkembangan kakao ke lokasi eks gelar teknologi di Puudambu, saat kakao mulai berbuah dan memasuki puncak panen pada bulan Mei.
Menanggapi keberhasilan pendampingan teknologi kakao di Puudambu, Kepala Balai Besar Pengkajian Teknologi dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) M. Taufiq Ratule mengatakan sejak momen HPS masyarakat telah diperkenalkan pada banyak hal baru dalam bertani kakao melalui pendekatan teknologi.
“Berbagai informasi baru tersebut antara lain kakao berbuah lebat di luar musim, bibit kakao hasil sambung pucuk, serta teknologi optimalisasi pemanfaatan lahan diantara kakao adalah melalui pengembangan tanaman pangan menggunakan varietas unggul padi ladang, jagung, kedelai serta aneka kacang dan umbi tahan naungan,” ujarnya kembali.
“Saat ini kami bisa memanen kakao sepanjang tahun. Bahkan sekarang kami dapat panen setiap minggu. Ini berdampak pada pendapatan yang kami peroleh,” ungkap Masse.
Atas keberhasilan pendampingan teknologi, HPS menyisakan inovasi teknologi kakao yang masih diadopsi oleh petani hingga hari ini.
“Kami terus mengadopsi inovasi teknologi yang telah diterapkan pada tanaman kakao, sehingga para petani dapat menikmati hasil panen yang meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya dan hal ini berdampak pada pendapatan yang kami peroleh,” aku Haji Masse penuh bangga.
Balitbangtan melakukan pendampingan inovasi teknologi pada saat pelaksanaan HPS bahkan pasca HPS. Pendampingan intensif dilakukan dilahan seluas 15 hektar selama kurang lebih 5 bulan. Balai Penelitian dan Pengkajian (BPTP) Sultra selama beberapa bulan terakhir telah memberikan bimbingan teknik budidaya yang tepat agar tanaman kakao bisa berbuah sepanjang tahun.
Ditempat terpisah, Kepala BPTP Sultra Muhammad Sidiq membenarkan perkembangan Kakao eks lokasi Gelar Teknologi Kakao HPS 39 sangat menggembirakan. Pasca pelaksanaan HPS ke-39 Balitbangtan melalui BPTP Sultra intens mengamati perkembangan kakao ke lokasi eks gelar teknologi di Puudambu, saat kakao mulai berbuah dan memasuki puncak panen pada bulan Mei.
Menanggapi keberhasilan pendampingan teknologi kakao di Puudambu, Kepala Balai Besar Pengkajian Teknologi dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) M. Taufiq Ratule mengatakan sejak momen HPS masyarakat telah diperkenalkan pada banyak hal baru dalam bertani kakao melalui pendekatan teknologi.
“Berbagai informasi baru tersebut antara lain kakao berbuah lebat di luar musim, bibit kakao hasil sambung pucuk, serta teknologi optimalisasi pemanfaatan lahan diantara kakao adalah melalui pengembangan tanaman pangan menggunakan varietas unggul padi ladang, jagung, kedelai serta aneka kacang dan umbi tahan naungan,” ujarnya kembali.

Teknologi Akan Meningkatkan produktivitas
Berdasarkan wawancara via telepon dengan Prof. Rubiyo, ahli Kakao Balitbangtan yang sejak awal persiapan HPS telah mendampingi petani Puudambu menyatakan yang perlu diperhatikan petani untuk memaksimalkan hasil kakao diantaranya mulai dari pemupukan, pencegahan hama dan penyakit, pemangkasan, pengairan, pembuatan rorak, penataan tanaman naungan, pemasakan buah serempak, dan penyerbukan buatan tanaman kakao. Selain itu, satu inovasi yang juga dikembangkan adalah sambung samping.
Pemangkasan produksi dan pemeliharaan dianggap penting untuk perkembangan fisiologi tanaman. Pemangkasan ringan harus dilakukan secara rutin. Selama pendampingan, petani diajarkan secara detail, kapan pemangkasan dilaksanakan, cabang mana yang harus dipangkas (diantaranya cabang balik, mati, sakit, dan overlapping), alat apa yang dipergunakan, dan cara pemangkasan yang benar.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan untuk menyelamatkan buah kakao. Pengendalian ini tidak selalu menggunakan penyemprotan obat-obatan kimiawi. Beberapa hama perlu ditangani dengan pengaturan kelembaban. Sedangkan untuk buah yang masih kecil, dilakukan dengan teknologi sarungisasi.
Pupuk berimbang (organik dan anorganik) juga sangat penting. Selain pupuk kimia, juga direkomendasikan pemupukan dari bahan organik yang sebelumnya tidak dimanfaatkan di kebun coklat. Seperti cangkang buah, bekas pangkas, daun seraseh kering, dan lain-lain. Bahan organik ini dimasukkan kedalam lubang roar sehingga bisa menutrisi tanah dan mengikat air agar pembuangan lebih baik.
Inovasi sambung samping dianggap lebih mudah dan cepat, karena dapat meningkatkan produksi kakao tanpa melakukan penanaman kembali (replanting). Inovasi ini dilakukan dengan cara menyambungkan batang atas (entres) yang diperoleh dari tanaman induk unggul ke batang tanaman kakao yang memiliki produktivitas rendah. Entres yang digunakan adalah tanaman muda, berusia sekitar 3 bulan berwarna hijau kecoklatan. Jika entres diperoleh dari tempat yang jauh dari tanaman batang bawah, maka perlu dilakukan pengemasan khusus agar entres tetap segar saat dilakukan penyambungan. Selain entres, perlu diperhatikan bahwa batang bawah yang akan disambung samping harus sehat.
Selain budidaya, penanganan panen dan pasca panen juga penting. Cara panen yang tepat dan alat yang digunakan juga diajarkan kepada petani. Setelah pendampingan yang dilakukan Balitbangtan, kualitas biji kakao yang dihasilkan lebih baik bahkan mencapai 95 % bernas.
Aspek kelembagaan juga penting untuk disentuh saat pendampingan. Selama ini petani bekerja sendiri-sendiri. Padahal dalam penanganan hama, perlu dilakukan pengendalian bersama-sama sehingga aktivitas pengendalian efektif. Selain itu, dengan penguatan kelembagaan petani, akan membuat bargaining position petani lebih kuat.
Pendampingan yang dilakukan Balitbangtan mengutamakan model partisipatif, dimana solusi yang ditawarkan nantinya sesuai dengan masalah yang dihadapi petani. Sesuai juga dengan harapan yang diingikan petani.
Dengan adanya pendampingan yang dilakukan baik saat budidaya, panen, pasca panen, maupun pada aspek kelembagaan, diharapkan juga akan mendorong konsistensi petani untuk menanam kakao.
Peningkatan produktivitas dengan pendekatan teknologi pada akhirnya diharapkan akan berpengaruh pula pada peningkatan kesejahteraan petani. Break Event Point (BEP) budidaya kakao saat ini sebesar Rp 15 ribu/Kg, sedangkan harga biji kakao mencapai Rp 21-22 ribu/Kg. Dari segi harga jual, terbukti agribisnis kakao layak untuk diusahakan.
Rubiyo juga mengungkapkan sangat bersyukur atas kerja keras Tim Balitbangtan, penyuluh, dan petani sehingga membuahkan hasil yang maksimal.
“Petani itu tidak mudah meniru. Mereka pasti mau menerapkan teknologi jika ada buktinya, jika dirasakan manfaatnya seperti yang dialami petani kakao”, ungkapnya.
Terlepas dari segala kendala yang ada, Indonesia sangat berpeluang untuk menjadi produsen kakao terbesar dunia. Tentu perjuangan masih panjang, namun mimpi tersebut bukan tidak mungkin tercapai. “Ayo petani kakao Indonesia, maju dan terus semangat agar kakao Indonesia menjadi nomor satu di dunia!” ujar Rubiyo. (EPA)
Berdasarkan wawancara via telepon dengan Prof. Rubiyo, ahli Kakao Balitbangtan yang sejak awal persiapan HPS telah mendampingi petani Puudambu menyatakan yang perlu diperhatikan petani untuk memaksimalkan hasil kakao diantaranya mulai dari pemupukan, pencegahan hama dan penyakit, pemangkasan, pengairan, pembuatan rorak, penataan tanaman naungan, pemasakan buah serempak, dan penyerbukan buatan tanaman kakao. Selain itu, satu inovasi yang juga dikembangkan adalah sambung samping.
Pemangkasan produksi dan pemeliharaan dianggap penting untuk perkembangan fisiologi tanaman. Pemangkasan ringan harus dilakukan secara rutin. Selama pendampingan, petani diajarkan secara detail, kapan pemangkasan dilaksanakan, cabang mana yang harus dipangkas (diantaranya cabang balik, mati, sakit, dan overlapping), alat apa yang dipergunakan, dan cara pemangkasan yang benar.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan untuk menyelamatkan buah kakao. Pengendalian ini tidak selalu menggunakan penyemprotan obat-obatan kimiawi. Beberapa hama perlu ditangani dengan pengaturan kelembaban. Sedangkan untuk buah yang masih kecil, dilakukan dengan teknologi sarungisasi.
Pupuk berimbang (organik dan anorganik) juga sangat penting. Selain pupuk kimia, juga direkomendasikan pemupukan dari bahan organik yang sebelumnya tidak dimanfaatkan di kebun coklat. Seperti cangkang buah, bekas pangkas, daun seraseh kering, dan lain-lain. Bahan organik ini dimasukkan kedalam lubang roar sehingga bisa menutrisi tanah dan mengikat air agar pembuangan lebih baik.
Inovasi sambung samping dianggap lebih mudah dan cepat, karena dapat meningkatkan produksi kakao tanpa melakukan penanaman kembali (replanting). Inovasi ini dilakukan dengan cara menyambungkan batang atas (entres) yang diperoleh dari tanaman induk unggul ke batang tanaman kakao yang memiliki produktivitas rendah. Entres yang digunakan adalah tanaman muda, berusia sekitar 3 bulan berwarna hijau kecoklatan. Jika entres diperoleh dari tempat yang jauh dari tanaman batang bawah, maka perlu dilakukan pengemasan khusus agar entres tetap segar saat dilakukan penyambungan. Selain entres, perlu diperhatikan bahwa batang bawah yang akan disambung samping harus sehat.
Selain budidaya, penanganan panen dan pasca panen juga penting. Cara panen yang tepat dan alat yang digunakan juga diajarkan kepada petani. Setelah pendampingan yang dilakukan Balitbangtan, kualitas biji kakao yang dihasilkan lebih baik bahkan mencapai 95 % bernas.
Aspek kelembagaan juga penting untuk disentuh saat pendampingan. Selama ini petani bekerja sendiri-sendiri. Padahal dalam penanganan hama, perlu dilakukan pengendalian bersama-sama sehingga aktivitas pengendalian efektif. Selain itu, dengan penguatan kelembagaan petani, akan membuat bargaining position petani lebih kuat.
Pendampingan yang dilakukan Balitbangtan mengutamakan model partisipatif, dimana solusi yang ditawarkan nantinya sesuai dengan masalah yang dihadapi petani. Sesuai juga dengan harapan yang diingikan petani.
Dengan adanya pendampingan yang dilakukan baik saat budidaya, panen, pasca panen, maupun pada aspek kelembagaan, diharapkan juga akan mendorong konsistensi petani untuk menanam kakao.
Peningkatan produktivitas dengan pendekatan teknologi pada akhirnya diharapkan akan berpengaruh pula pada peningkatan kesejahteraan petani. Break Event Point (BEP) budidaya kakao saat ini sebesar Rp 15 ribu/Kg, sedangkan harga biji kakao mencapai Rp 21-22 ribu/Kg. Dari segi harga jual, terbukti agribisnis kakao layak untuk diusahakan.
Rubiyo juga mengungkapkan sangat bersyukur atas kerja keras Tim Balitbangtan, penyuluh, dan petani sehingga membuahkan hasil yang maksimal.
“Petani itu tidak mudah meniru. Mereka pasti mau menerapkan teknologi jika ada buktinya, jika dirasakan manfaatnya seperti yang dialami petani kakao”, ungkapnya.
Terlepas dari segala kendala yang ada, Indonesia sangat berpeluang untuk menjadi produsen kakao terbesar dunia. Tentu perjuangan masih panjang, namun mimpi tersebut bukan tidak mungkin tercapai. “Ayo petani kakao Indonesia, maju dan terus semangat agar kakao Indonesia menjadi nomor satu di dunia!” ujar Rubiyo. (EPA)